Penjara tanpa bilik, begitu orang dulu katakan untuk menggambarkan kondisi Boven Digoel yang sepi dan memberi cekaman kebosanan bagi mereka yang pergi kesana. Saking sepi dan mencekamnya, Bung Hatta saat pertama kali dibuang ke Boven Digoel, tepatnya pada 20 Januari 1934 menulis,”Kemana kita dibawa oleh nasib, kemana kita dibuang oleh yang berkuasa, tiap-tiap bidang tanah dalam Indonesia ini, itulah juga Tanah Air kita. Di atas segala lapangan Tanah Air aku hidup, aku gembira. Dan di mana kakiku menginjak bumi Indonesia, di sanalah tumbuh bibit cita-cita yang tersimpan dalam dadaku.”
Sejarah wilayah Boven Digoel memang tak bisa dilepaskan dari kolonialisasi Hindia Belanda di Indonesia. Nama Boven Digoel sendiri berarti; Digoel bagian atas atau hulu ini tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan Sungai Digoel di Papua bagian Selatan. Mulanya, Boven Digoel dibangun pata tahun 1927 sebagai tempat pembuangan dalam negeri atau interneeringskamp bagi tokoh-tokoh bumi putera yang dianggap berbahaya bagi pemerintah Hindia Belanda. Tokoh-tokoh pergerakan yang pernah dibuang ke Boven Digoel antara lain; Sayuti Melik (1927-1938), Hatta (1935-1936), Sutan Sjahrir dan Muchtar Lutfi, Ilyas Yacub (tokoh PERMI dan PSII Minangkabau), serta Mas Marco Kartodikromo yang wafat dan dimakamkan di Digoel pada tahun 1935.
Pedalaman Digoel sangat sulit ditembus. Satu-satunya moda transportasi yang bisa menjangkau tempat tersebut saat itu hanya kapal. Dibutuhkan waktu berhari-hari untuk mencapai Tanah Merah, yang jaraknya sekitar 500 kilometer dari muara sungai Digoel di Laut Arafura.
Begitu kapal putih merapat di Dermaga Tanah Merah, siapa pun harus bersiap menghadapi ancaman mematikan hutan Papua, baik ancaman malaria ataupun hewan buas. Tercatat nama Ali Archam, digoelis (sebuatan untuk orang buangan di Digoel) yang diasingkan di Tanah Tinggi, Boven Digoel, sekitar 40 kilometer di atas Tanah Merah, meninggal akibat serangan malaria.
Awalnya, wilayah ini merupakan bagian dari Kabupaten Merauke. Namun berdasarkan UU Nomor 26 tahun 2002, Boven Digoel kemudian menjadi kabupaten tersendiri. Di awal pemekaran, Kabupaten Digoel memiliki 6 distrik dan 88 kampung. Tapi kemudian tahun 2006 mengalami pemekaran menjadi 15 distrik berdasarkan SK Mendagri Nomor 25 tahun 2005. Kemudian, pada tahun 2008 keluarlah Peraturan Daerah No.11 tahun 2008 tentang Pembentukan Distrik dan No.13 tahun 2008 tentang Pembentukan Kampung, sehingga pada tahun 2009 jumlah distrik di Kabupaten Boven Digoel menjadi 20 distrik dan 112 kampung. Terkait dipilihnya nama Kabupaten Digoel, sebelumnya telah terjadi perdebatan antara dua nama yaitu Kabupaten Sokanggo dan Kabupaten Boven Digoel. Nama Kabupaten Sokanggo tidak banyak mendapat perhatian, karena sesuai dengan arti katanya yaitu tanah yang berwarna merah, yang mengindikasikan bahwa Kabupaten Sokanggo nantinya diperuntukkan bagi penduduk Tanah Merah. Sementara nama Kabupaten Boven Digoel mendapat perhatian dan tanggapan yang serius dari sebagian besar penduduk Boven Digoel.
Dalam mitos suku-suku tua di pedalaman Papua ada yang dikenal sebagai TUMOLOP (Sang Gaib atau Tuhan Allah). Bagi Suku Wambon, Tumolop adalah Dewa mereka. Dialah yang menurunkan puteranya dalam wujud rupa tak dapat dijelaskan secara realistis. Makhluk putra Sang Tumolop ini disebut Beten, yang menjadi cikal bakal aneka etnik besar dari rimba belantara Papua, tetapi kemudian telah menyebar ke berbagai penjuru Tanah Papua.
Legenda teologis masyarakat Wambon dan juga Awuyu ini hampir mirip dengan prosesi Taurat hingga Injil dalam keyakinan kaum Nasrani. Bahwa mulanya adalah firman, dan firman itulah Allah yang menjadikan langit, bumi beserta isinya.
Suku Wambon merupakan suku terbesar di Boven Digoel. Secara etimologis, istilah Wambon merupakan nama awal yang menjadi personifikasi orang Wambon. Sementara suku terbesar kedua adalah Suku Muyu. Suku inilah yang memiliki peran strategis dalam sejumlah aktivitas masyarakat. Mereka jualah yang pertama kali menerima misi pencerahan dari para misionaris. Berbeda dengan Suku Wambon yang merupakan peramu konsumtif, Suku Muyu merupakan suku peramu sumatif. Mereka menerima apa saja sesuai hasil yang ada. Kebudayaan Suku Muyu adalah kebudayaan petani.
Meski agak terisolasi, Boven Digoel merupakan daerah yang cukup berkembang. Pembangunan infrastruktur berjalan meski agak lamban.